Bagaimana ForCES Di Indonesia
ForCES di Indonesia dalam menjalankan Program ForCES di Indonesia, FSC bermitra dengan WWF-Indonesia.
Pada tahun 1990, WWF-Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) terkait isu sertifikasi hutan, yang juga didukung oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Melalui Program ForCES, WWF-Indonesia men- dukung pengembangan jasa lingkungan yang berada di dalam wilayah kelola masyarakat dan perusahaan, dengan melakukan berbagai macam kegiatan, terutama dalam membangun kesiapan masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi FSC dan PES.
Sebelum mendapatkan sertifikasi PES, unit pengelola harus mem- peroleh sertifikasi pengelolaan hutan terlebih dahulu. Hal ini dikarena- kan kedua sertifikasi tersebut merupakan satu kesatuan. Indikator dari proses sertifikasi tersebut adalah terdokumentasinya pengelolaan hutan dengan produk jasa lingkungan yang diatur secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Terdapat tiga lokasi uji coba Program ForCES di Indonesia, yaitu Hutan Sesaot di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat; PT. Ratah Timber di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur; dan Wilayah Ke- lola Ekowisata (WKE) di Desa Meliau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Nama |
Lokasi |
Luas (hektar) |
Jenis Pengelolaan Hutan |
Habitat Hutan |
Jasa Lingkungan Utama | Hak Kepemilikan/ Pengelolaan |
N° 4 Pulau Lombok |
Nusa Tenggara Barat |
3.035 |
1. Hutan Lindung 2. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) |
1. Hutan Lindung 2. Hutan tropis pegunungan |
1. Jasa air 2. Ekowisata |
Taman Nasional |
N° 6 Kalimantan Timur |
Kalimantan Timur |
95.000 |
Izin Usaha Peman- faatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK-HA) |
Hutan hujan |
1. HCVF 2. Konsesi hutan 3. Perlindungan daerah aliran sungai (DAS) |
Perusahaan swasta dengan ijin pengusahaan legal |
N° 5 Kalimantan Barat |
Kalimantan Barat |
7.025 |
1. Taman Nasional 2. KPH |
1. Hutan hujan (tingkat kepadatan orangutan tinggi) 2. Danau |
1. Jasa air 2. Ekowisata |
1. Taman Nasional 2. KPH |
Skema ForCES Di Indonesia
Untuk menjalankan uji coba di Indonesia, Program ForCES menerap- kan beberapa skema di lokasi uji coba. Berikut skema-skema tersebut.
1. Sosialisasi Prinsip dan Kriteria FSC
Pemahaman akan prinsip dan kriteria FSC bersifat mutlak bagi unit pengelola seperti kelompok masyarakat dan perusahaan, maupun para- pihak yang memiliki kepentingan di lokasi uji coba Program ForCES
di Indonesia seperti dinas kehutanan, taman nasional, dan KPH. Oleh karena itu, dibutuhkan sosialisasi mengenai prinsip dan kriteria FSC kepada pihak-pihak tersebut agar mereka dapat menyusun rencana pengelolaan hutan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan — atau yang dikenal sebagai Sustainable Forest Management (SFM) — di masing-masing lokasi uji coba ForCES. Sosialisasi ini dilakukan dalam bentuk pelatihan dan studi lapangan ke kawasan-kawasan hutan yang pengelolaannya telah menerapkan menerapkan prinsip dan kriteria tersebut dan mendapatkan sertifikasi FSC.
2. Penyusunan Corrective Action Plan (CAP)
Corrective Action Plan (CAP) merupakan rencana aksi untuk mendu- kung proses sertifikasi di lapangan. Penyusunan CAP ini bertujuan untuk melihat kesenjangan (gap) antara pengelolaan kawasan hutan oleh unit pengelola saat ini dengan prinsip dan kriteria FSC. Tahapan penyusunan CAP, yaitu melakukan CAP dengan melihat praktik pe- ngelolaan kawasan hutan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan saat ini dengan isu ekowisata dan jasa lingkungan air; serta mengevalu- asi, menilai, dan menyampaikan hasil CAP kepada unit pengelola untuk diperbaiki melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan prinsip dan kriteria FSC.
3. Pengenalan dan Pemahaman Tentang Free, Prior, Inform, Consent (FPIC)
Free, Prior, Inform, Consent (FPIC) dapat dimaknai sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (inform) sebelum (prior) sebuah program pembangunan dilaksanakan di wilayah mereka, sebagai dasar agar masyarakat bebas dari tekanan (free) untuk menye- tujui (consent) atau menolak program tersebut. Dengan kata lain, unit pengelola (eksternal) yang hendak masuk ke dalam wilayah masyara- kat untuk menjalankan program pembangunan, perlu memberikan penjelaskan mengenai program itu sendiri dan berunding, mengingat masyarakat sebagai pemilik wilayah tersebut berhak untuk setuju atau menolak terhadap program yang diusulkan oleh unit pengelola.
FPIC memiliki keterkaitan dengan prinsip FSC nomor empat. Proses pengenalan dan pemahaman FPIC ini tidak hanya perlu diikuti oleh unit pengelola hutan tetapi juga pihak-pihak terkait lainnya seperti pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Implementasi konsep ini juga tidak hanya dilakukan satu kali, namun terus-menerus hingga program selesai dan memberikan manfaat.
Menurut konsep FPIC, terdapat dua kategori masyarakat, yakni: (1) Masyarakat hutan adat; dan (2) Masyarakat lokal, yaitu kelompok pen- datang yang telah lama mendiami suatu wilayah hutan.
4. Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi bertujuan untuk mengkaji hasil pencatatan data air dengan alat pengukur tinggi permukaan air (Automatic Water Level Recorder/AWLR) serta data curah hujan dan suhu dengan menggu- nakan dan alat pengukur curah hujan (Automatic Rain Gauge/ARG) yang dipasang beberapa bulan sebelum proses analisis berlangsung. Pengambilan data ini dilakukan secara partisipastif dengan melibatkan berbagai pihak seperti unit pengelola, pemerintah desa, lembaga pene- litian, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tingkat kabupaten dan provinsi, dan akademisi.
Data tersebut kemudian dijadikan bahan referensi untuk melakukan advokasi ke pihak-pihak terkait sehingga mereka tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami dan peduli dengan kondisi sumber air di lapangan. Hal ini menjadi salah satu justifikasi ilmiah untuk menuju proses perbaikan dan daya dukung lingkungan di ruang lingkup sum- ber air tersebut seperti mata air, danau, atau sungai. Proses analisis hidrologi ini berkaitan dengan prinsip FSC nomor delapan.
Sumber : Profil ForCES: Langkah Menuju Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia – WWF Indonesia